KH Ahmad Sodiq |
KALAU anggota keluarga besar dan orang-orang sekitarnya tidak mau memberi kesaksian, akan sulit mengetahui kebaikan dan kebesaran K.H. Ahmad Sodiq. Sebab, tokoh kelahiran Kediri, Jawa Timur itu enggan mengingat jasa-jasanya terhadap umat Islam dan masyarakat sekitarnya.
Ketika ditanya soal penggemblengan terhadap puluhan anggota
Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Way Jepara, Lampung Timur (Lamtim),
dan sekitarnya, saat gencar-gencarnya G-30-S/PKI, suami Ny. Suminah ini
hanya mengatakan entah, tidak ingat atau kalau tidak salah. "Untuk apa
diingat-ingat. Dosa itu lo yang perlu diingat-ingat," kata dia.
Padahal, ayah enam anak itu adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah Lampung. Santri tarikat saja mencapai 10 ribuan orang, sedangkan santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Darus Salamah yang dia pimpin sekitar 800 orang. Ia pun sering diundang dalam event-event kiai sepuh (ternama) di Indonesia.
Dalam berorganisasi, selain pernah menjadi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung, ia juga anggota Pengurus Besar NU (PBNU). Ia juga sangat dipercaya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat, khususnya di lingkungan NU.
Padahal, ketika kanak-kanak, Ahmad Sodiq tidak berbeda dengan teman-teman seusianya. Namun, ketika masuk SD (SR, saat itu), usianya sudah 16 tahun. Pendidikan formal itu pun hanya ditempuh hingga kelas III.
Pada usia 18 tahun, anak ketiga dari enam bersaudara ini memilih mengikuti pelatihan-pelatihan ketentaraan. Maklum, saat itu Indonesia tengah dijajah Belanda dan membutuhkan banyak pejuang.
Meski hanya setahun, pendatang ini lulus uji keberanian dan keterampilan berperang. Sang kiai pun gembira dan memberitahukan hal itu kepada sang ibu.
Namun, tidak demikian dengan Ny. Situn yang melahirkannya. Dia tidak merestui anaknya menjadi tentara. Dengan berat hati, Ahmad Sodiq akhirnya mengurungkan niatnya berjuang lewat militer.
Dia akhirnya memilih jalur agama sebagai alat perjuangan. Pondok Pesantren Darussalam Kencong, sekitar 3 kilometer dari rumahnya, menjadi pilihan.
Itu bukan hal mudah. Sebab, sang ibu baru mengizinkan ke ponpes asuhan K.H. Imam Faqih itu jika menyanggupi tiga syarat: Mencari bekal penghidupan sendiri, tetap membantu kebutuhan keluarga, dan tetap bekerja di rumah serta tidak boleh merantau.
Dengan tiga syarat itu, perjalanan Ahmad Sodiq ke pesantren setiap hari ditempuh sambil berjualan nangka muda dari rumah ke rumah hingga pasar. Hal itu dilakukan hingga sembilan tahun.
Selanjutnya, Ahmad Sodiq pindah ke Ponpes Pedes di Jombang, Jawa Timur, khususnya untuk memperdalam ilmu Alquran dan tarekat. Meskipun jarak dari rumahnya sekitar 34 kilometer, perjalanan ke tempat K.H. Romli Tamim itu ditempuh dengan berjalan kaki.
Tiga tahun kemudian, ia mengajar di Ponpes Darussalam, tempat pertama kali menuntut ilmu agama. Pengabdian itu dijalaninya sekitar tiga tahun.
Selain itu, mursyid tarekat ini berguru kepada K.H. Adlan Ali, pengasuh Ponpes Cukir, Jombang, Jatim. Sekitar tahun 1963, Suroso, adiknya yang menjadi transmigran di Brajadewa, Way Jepara, mengutus Bisri Mustofa, keponakannya, untuk meminta sang kiai ke Lampung.
Sebab, Kiai Ismail saja dinilai tidak cukup untuk mengembangkan dan menata umat di lingkungannya yang sebagian besar bisa dibilang kaum abangan.
Namun, sampai di Brajadewa, Ahmad Sodiq tidak langsung menjadi kiai. Karena kedatangannya juga atas permintaan Goden almarhum, Kepala Kampung setempat, dia lebih dahulu dipondokkan di rumahnya dan menjadi anggota hansip. Tetapi, jika malam, sang kiai ditugasi mengajar agama di musala dan dari rumah ke rumah.
Setahun kemudian, tokoh itu diberi tanah wakaf desa seluas 0,5 ha. Di tempat itulah Ahmad Sodiq mengembangkan ilmu bersama Kiai Ismail. Karena kepercayaan masyarakat untuk menjadikan anaknya sebagai santri terus bertambah, pembangunan asrama pun dimulai. "Saat itu sekitar tujuh orang. Tapi bukan bapak saya yang membangun, melainkan para santri itu sendiri; mulai mencari bahan sampai mengerjakannya," ujar Gus Dardiri, putra pertamanya.
Sekitar tiga tahun kemudian, di antara wali santri ingin mengambilnya sebagai menantu. Namun, niatan itu tidak berlanjut. Ahmad Sodiq pun akhirnya menikahi Saminah asal Plongkowati, Way Jepara, dan membuahkan enam anak.
Meskipun pondok pesantrennya berkembang pesat, anak-anaknya menjadi sarjana, dan zaman telah berubah, Ahmad Sodiq tidak berniat mengubah sistem pendidikannya. Dia tetap berprinsip bahwa sistem salaf (kuno) tetap efektif untuk mencetak generasi muslim yang andal.
Meski bangunan pondok pesantren dan masjidnya megah, sang kiai tetap berpenampilan sederhana. Ia pun tidak menjadikan lembaga pendidikannya untuk mencari uang.
Pada usianya yang ke-81, Ahmad Sodiq tetap ke ladang bercocok tanam. Sebab, ia punya komitmen bahwa manusia biasa haruslah bekerja agar segala kebutuhan hidupnya tercukupi dan beramal salih. Namun, keduanya tidak boleh keluar dari rel-rel agama.
Para lulusan Pondok Pesantren Darus Salamah pun banyak yang kemudian meneladaninya dengan mendirikan pondok pesantren. K.H. Khusnan Mustofa Ghufron mendirikan Darul A'mal di Metro, K.H. Muchsin Abdillah (Darus Sa'adah Mojoagung, Gunungsugih, Lamteng), K.H. Nurcholis (Bandaragung, Terusannunyai, Lamteng), K.H. Nur Daim (Darus Salamah, Bandaragung, Terusannunyai, Lamteng), K.H. Sahlan (Darun Najah, Sekampung, Lampung Timur), K.H. Nasikhin (Darun Najah Brajaselebah, Lampung Timur), K.H. Wahib dan Muhid (Sumbersari, Way Jepara, Lampung Timur),
Mursyid Tarekat
Kedudukannya sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah tergolong unik. Santri tarekat resah karena mursyidnya, K.H. Zainul Jinan (alm.), pengasuh Pondok Pesantren Qodiriyah Desa Srikaton, Kecamatan Gunungbalak, Lamteng (waktu itu), masuk Golongan Karya (Golkar). Sejumlah pengikut yang tidak setuju, menemui dan memintanya untuk diopeni, bahkan kalau bisa menjadi penggantinya.
Keluarga besar pondok pesantren pun kemudian rapat. Hasilnya, menyepakati Kiai Ismail menggantikan Jinan, yang kemudian memindahkan lembaga pendidikannya ke Desa Siraman, Pekalongan, Lamtim. Bersama yang bersangkutan, sejumlah orang berangkat ke Pondok Pesantren Cukir, untuk meminta restu.
Namun, K.H. Romli, pemimpin tarekat di sana, tidak merestui. Menurut dia, Kiai Ismail hanya bisa menjadi badal mursyid (setingkat lebih rendah dari mursyid). Romli justru menunjuk Ahmad Sodiq-lah yang pantas menjadi mursyid.
Bahkan, Romli berpesan kepada rombongan agar memanggil Ahmad Sodiq ke Cukir untuk dibaiat sebagai mursyid tarekat Qodiriyah wa al-Naqshabandiyah Lampung. Sebab, kalau tidak santri tarekat tersebut akan kebingungan untuk melanjutkan dan mengembangkan ajaran ketauhidannya.
Kini, setiap Selasa dan Sabtu sore, selalu saja ada yang datang untuk berbaiat kepadanya sebagai santri. Mereka bukan saja datang dari Lampung, melainkan juga Sumatera Selatan dan Bengkulu.
BIODATA
Nama lengkap: K.H. Ahmad Sodiq
Tempat, tanggal lahir: Kampung Jatisari, Kecamatan Kepung, Kawedanan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 18 Juli 1927
Agama: Islam
Pekerjaan: Tani, Pengasuh Pondok Pesantren, Mursyid Tarekat Al-Qodiriyah wa al-Naqshobandiyah
Alamat: Desa Brajadewa, Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur
Orang tua
Ayah: Tarmuji
Ibu: Situn
Saudara kandung:
Sumirah
Suma'un
Suroso
Parmi
Sundri Arofah
Istri: Saminah
Anak:
1. Dardiri Achmad
2. Siti Rubai'ah
3. Imam Mudzakir
4. Achmad Toha
5. Imam Sibawaih
6. Agus Fathoni
Pendidikan formal: Sekolah Rakyat (SR/SD)
Pendidikan nonformal:
- Madrasah Ibtidaiah Salafiyah
- Madrasah Tsanawiah Salafiyah
- Madrasah Aliah Salafiyah
Pekerjaan:
- Pedagang
- Peternak
- Petani
Pengalaman organisasi:
- Pemuda Desa (1938)
- Pengurus Ponpes Pare Kediri (1955--1963)
- Hansip (1963--1965)
- Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Lampung
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Padahal, ayah enam anak itu adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah Lampung. Santri tarikat saja mencapai 10 ribuan orang, sedangkan santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Darus Salamah yang dia pimpin sekitar 800 orang. Ia pun sering diundang dalam event-event kiai sepuh (ternama) di Indonesia.
Dalam berorganisasi, selain pernah menjadi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung, ia juga anggota Pengurus Besar NU (PBNU). Ia juga sangat dipercaya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat, khususnya di lingkungan NU.
Padahal, ketika kanak-kanak, Ahmad Sodiq tidak berbeda dengan teman-teman seusianya. Namun, ketika masuk SD (SR, saat itu), usianya sudah 16 tahun. Pendidikan formal itu pun hanya ditempuh hingga kelas III.
Pada usia 18 tahun, anak ketiga dari enam bersaudara ini memilih mengikuti pelatihan-pelatihan ketentaraan. Maklum, saat itu Indonesia tengah dijajah Belanda dan membutuhkan banyak pejuang.
Meski hanya setahun, pendatang ini lulus uji keberanian dan keterampilan berperang. Sang kiai pun gembira dan memberitahukan hal itu kepada sang ibu.
Namun, tidak demikian dengan Ny. Situn yang melahirkannya. Dia tidak merestui anaknya menjadi tentara. Dengan berat hati, Ahmad Sodiq akhirnya mengurungkan niatnya berjuang lewat militer.
Dia akhirnya memilih jalur agama sebagai alat perjuangan. Pondok Pesantren Darussalam Kencong, sekitar 3 kilometer dari rumahnya, menjadi pilihan.
Itu bukan hal mudah. Sebab, sang ibu baru mengizinkan ke ponpes asuhan K.H. Imam Faqih itu jika menyanggupi tiga syarat: Mencari bekal penghidupan sendiri, tetap membantu kebutuhan keluarga, dan tetap bekerja di rumah serta tidak boleh merantau.
Dengan tiga syarat itu, perjalanan Ahmad Sodiq ke pesantren setiap hari ditempuh sambil berjualan nangka muda dari rumah ke rumah hingga pasar. Hal itu dilakukan hingga sembilan tahun.
Selanjutnya, Ahmad Sodiq pindah ke Ponpes Pedes di Jombang, Jawa Timur, khususnya untuk memperdalam ilmu Alquran dan tarekat. Meskipun jarak dari rumahnya sekitar 34 kilometer, perjalanan ke tempat K.H. Romli Tamim itu ditempuh dengan berjalan kaki.
Tiga tahun kemudian, ia mengajar di Ponpes Darussalam, tempat pertama kali menuntut ilmu agama. Pengabdian itu dijalaninya sekitar tiga tahun.
Selain itu, mursyid tarekat ini berguru kepada K.H. Adlan Ali, pengasuh Ponpes Cukir, Jombang, Jatim. Sekitar tahun 1963, Suroso, adiknya yang menjadi transmigran di Brajadewa, Way Jepara, mengutus Bisri Mustofa, keponakannya, untuk meminta sang kiai ke Lampung.
Sebab, Kiai Ismail saja dinilai tidak cukup untuk mengembangkan dan menata umat di lingkungannya yang sebagian besar bisa dibilang kaum abangan.
Namun, sampai di Brajadewa, Ahmad Sodiq tidak langsung menjadi kiai. Karena kedatangannya juga atas permintaan Goden almarhum, Kepala Kampung setempat, dia lebih dahulu dipondokkan di rumahnya dan menjadi anggota hansip. Tetapi, jika malam, sang kiai ditugasi mengajar agama di musala dan dari rumah ke rumah.
Setahun kemudian, tokoh itu diberi tanah wakaf desa seluas 0,5 ha. Di tempat itulah Ahmad Sodiq mengembangkan ilmu bersama Kiai Ismail. Karena kepercayaan masyarakat untuk menjadikan anaknya sebagai santri terus bertambah, pembangunan asrama pun dimulai. "Saat itu sekitar tujuh orang. Tapi bukan bapak saya yang membangun, melainkan para santri itu sendiri; mulai mencari bahan sampai mengerjakannya," ujar Gus Dardiri, putra pertamanya.
Sekitar tiga tahun kemudian, di antara wali santri ingin mengambilnya sebagai menantu. Namun, niatan itu tidak berlanjut. Ahmad Sodiq pun akhirnya menikahi Saminah asal Plongkowati, Way Jepara, dan membuahkan enam anak.
Meskipun pondok pesantrennya berkembang pesat, anak-anaknya menjadi sarjana, dan zaman telah berubah, Ahmad Sodiq tidak berniat mengubah sistem pendidikannya. Dia tetap berprinsip bahwa sistem salaf (kuno) tetap efektif untuk mencetak generasi muslim yang andal.
Meski bangunan pondok pesantren dan masjidnya megah, sang kiai tetap berpenampilan sederhana. Ia pun tidak menjadikan lembaga pendidikannya untuk mencari uang.
Pada usianya yang ke-81, Ahmad Sodiq tetap ke ladang bercocok tanam. Sebab, ia punya komitmen bahwa manusia biasa haruslah bekerja agar segala kebutuhan hidupnya tercukupi dan beramal salih. Namun, keduanya tidak boleh keluar dari rel-rel agama.
Para lulusan Pondok Pesantren Darus Salamah pun banyak yang kemudian meneladaninya dengan mendirikan pondok pesantren. K.H. Khusnan Mustofa Ghufron mendirikan Darul A'mal di Metro, K.H. Muchsin Abdillah (Darus Sa'adah Mojoagung, Gunungsugih, Lamteng), K.H. Nurcholis (Bandaragung, Terusannunyai, Lamteng), K.H. Nur Daim (Darus Salamah, Bandaragung, Terusannunyai, Lamteng), K.H. Sahlan (Darun Najah, Sekampung, Lampung Timur), K.H. Nasikhin (Darun Najah Brajaselebah, Lampung Timur), K.H. Wahib dan Muhid (Sumbersari, Way Jepara, Lampung Timur),
Mursyid Tarekat
Kedudukannya sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa al-Naqshabandiyah tergolong unik. Santri tarekat resah karena mursyidnya, K.H. Zainul Jinan (alm.), pengasuh Pondok Pesantren Qodiriyah Desa Srikaton, Kecamatan Gunungbalak, Lamteng (waktu itu), masuk Golongan Karya (Golkar). Sejumlah pengikut yang tidak setuju, menemui dan memintanya untuk diopeni, bahkan kalau bisa menjadi penggantinya.
Keluarga besar pondok pesantren pun kemudian rapat. Hasilnya, menyepakati Kiai Ismail menggantikan Jinan, yang kemudian memindahkan lembaga pendidikannya ke Desa Siraman, Pekalongan, Lamtim. Bersama yang bersangkutan, sejumlah orang berangkat ke Pondok Pesantren Cukir, untuk meminta restu.
Namun, K.H. Romli, pemimpin tarekat di sana, tidak merestui. Menurut dia, Kiai Ismail hanya bisa menjadi badal mursyid (setingkat lebih rendah dari mursyid). Romli justru menunjuk Ahmad Sodiq-lah yang pantas menjadi mursyid.
Bahkan, Romli berpesan kepada rombongan agar memanggil Ahmad Sodiq ke Cukir untuk dibaiat sebagai mursyid tarekat Qodiriyah wa al-Naqshabandiyah Lampung. Sebab, kalau tidak santri tarekat tersebut akan kebingungan untuk melanjutkan dan mengembangkan ajaran ketauhidannya.
Kini, setiap Selasa dan Sabtu sore, selalu saja ada yang datang untuk berbaiat kepadanya sebagai santri. Mereka bukan saja datang dari Lampung, melainkan juga Sumatera Selatan dan Bengkulu.
BIODATA
Nama lengkap: K.H. Ahmad Sodiq
Tempat, tanggal lahir: Kampung Jatisari, Kecamatan Kepung, Kawedanan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 18 Juli 1927
Agama: Islam
Pekerjaan: Tani, Pengasuh Pondok Pesantren, Mursyid Tarekat Al-Qodiriyah wa al-Naqshobandiyah
Alamat: Desa Brajadewa, Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur
Orang tua
Ayah: Tarmuji
Ibu: Situn
Saudara kandung:
Sumirah
Suma'un
Suroso
Parmi
Sundri Arofah
Istri: Saminah
Anak:
1. Dardiri Achmad
2. Siti Rubai'ah
3. Imam Mudzakir
4. Achmad Toha
5. Imam Sibawaih
6. Agus Fathoni
Pendidikan formal: Sekolah Rakyat (SR/SD)
Pendidikan nonformal:
- Madrasah Ibtidaiah Salafiyah
- Madrasah Tsanawiah Salafiyah
- Madrasah Aliah Salafiyah
Pekerjaan:
- Pedagang
- Peternak
- Petani
Pengalaman organisasi:
- Pemuda Desa (1938)
- Pengurus Ponpes Pare Kediri (1955--1963)
- Hansip (1963--1965)
- Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Lampung
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
kami dapatkan referensi ini dari Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 80-83. yang di pos oleh blog tokoh lampung
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 80-83. yang di pos oleh blog tokoh lampung
0 komentar:
Posting Komentar